Rabu, 04 Maret 2009

Sebarkan Atmosfer Kasih di Planet Kita

. Rabu, 04 Maret 2009
0 komentar

Sore ini seorang jurnalis bertanya kepada saya, �Apa tujuan Anda pergi berkeliling dan membantu demikian banyak orang?� Saya mengatakan kepadanya bahwa sesungguhnya hanya ada satu tujuan: yaitu untuk membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik. Kami membantu sebuah negara atau seseorang bukanlah karena kami menganggap uang dan barang bantuan adalah segala-galanya, atau bahwa tanpa bantuan kami mereka tidak akan bisa hidup. Bahkan jika mereka meninggal pun, tidak menjadi masalah karena bagi kami yang berlatih rohani atau siapa saja yang percaya kepada Tuhan percaya akan adanya reinkarnasi. Jika seseorang meninggal dunia, maka jiwanya akan mendapatkan tubuh baru lainnya. Kami membantu orang lain bukanlah karena kami menguatirkan hal-hal yang material, tetapi karena kami secara simbolis ingin menunjukkan bahwa di dunia ini ada kasih, kepedulian, dan pengorbanan yang tulus. Kami ingin meningkatkan energi dunia ini secara rohani, menyebarkan atmosfer kasih di planet kita ini. Jika ada kasih yang tulus di antara tetangga maka dunia kita akan menjadi semakin baik dan lebih baik lagi. Inilah tujuan dan arti dari derma sesungguhnya.

Kasih adalah harta yang paling berharga di alam semesta, bukan hanya di dunia ini saja. Jadi, banyak di antara para mahkluk surga atau mahkluk luar angkasa yang tertarik dengan atmosfer kasih yang ada di planet kita ini. Mereka menyadari bahwa kasih adalah hal yang paling indah di alam semesta ini. Meskipun di antara beberapa planet lain mereka telah berkembang dan menguasai teknologi tinggi, akan tetapi mereka masih lemah dalam emosi dan kasih sejati di antara sesamanya. Bahkan kadang-kadang beberapa mahkluk luar datang ke sini hanya untuk belajar dan melakukan pengamatan saja.

Itulah sebabnya mengapa kita harus tetap mempertahankan atmosfer kasih, karena kasih adalah hal utama yang kita miliki. Memang kita tidak semaju dan tidak seberadab planet lain. Tetapi setidaknya kita memiliki sesuatu yang sangat indah di alam semesta ini, dan itu adalah kasih. Kita harus melindungi dan memelihara atmosfer kasih ini sehingga kita dikemudian hari bisa berbagi dengan planet lainnya.

By Maha Guru Ching Hai

Klik disini untuk melanjutkan »»

Di Zawiyyah Sebuah Masjid

.
0 komentar

Sesudah shalat malam bersama, beberapa santri yang besok pagi diperkenankan pulang kembali ke tengah masyarakatnya, dikumpulkan oleh Pak Kiai di zawiyyah sebuah masjid.

Seperti biasanya, Pak Kiai bukannya hendak memberi bekal terakhir, melainkan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan khusus, yang sebisa mungkin belum usah terdengar dulu oleh para santri lain yang masih belajar di pesantren.

“Agar manusia di muka bumi ini memiliki alat dan cara untuk selamat kembali ke Tuhannya,” berkata Pak Kiai kepada santri pertama, “apa yang Allah berikan kepada manusia selain alam dan diri manusia sendiri?”

“Agama,” jawab santri pertama.

“Berapa jumlahnya?”

“Satu.”

“Tidak dua atau tiga?”

“Allah tak pernah menyebut agama atau nama agama selain yang satu itu, sebab memang mustahil dan mubazir bagi Allah yang tunggal untuk memberikan lebih dari satu macam tuntunan.”

**Kepada santri kedua Pak Kiai bertanya, “Apa nama agama yang dimaksudkan oleh temanmu itu?”

“Islam.”

“Sejak kapan Allah mengajarkan Islam kepada manusia?”

“Sejak Ia mengajari Adam nama benda-benda.”

“Kenapa kau katakan demikian?”

“Sebab Islam berlaku sejak awal mula sejarah manusia dituntun. Allah sangat adil. Setiap manusia yang lahir di dunia, sejak Adam hingga akhir zaman, disediakan baginya sinar Islam.”

“Kalau demikian, seorang Muslimkah Adam?”

“Benar, Kiai. Adam adalah Muslim pertama dalam sejarah umat manusia.”

**Pak Kiai beralih kepada santri ketiga. “Allah mengajari Adam nama benda-benda,” katanya, “bahasa apa yang digunakan?”

Dijawab oleh santri ketiga, “Bahasa sumber yang kemudian dikenal sebagai bahasa Al-Qur’an.”

“Bagaimana membuktikan hal itu?”

“Para sejarahwan bahasa dan para ilmuwan lain harus bekerja sama untuk membuktikannya. Tapi besar kemungkinan mereka takkan punya metode ilmiah, juga tak akan memperoleh bahan-bahan yang diperlukan. Manusia telah diseret oleh perjalanan waktu yang sampai amat jauh sehingga dalam kebanyakan hal mereka buta sama sekali terhadap masa silam.”

“Lantas bagaimana mengatasi kebuntuan itu?”

“Pertama dengan keyakinan iman. Kedua dengan kepercayaan terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam kehendak Allah.”

“Maksudmu, Nak?”

“Allah memerintahkan manusia bersembahyang dalam bahasa Al-Qur’an. Oleh karena sifat Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, berlaku universal secara ruang maupun waktu, maka tentulah itu petunjuk bahwa bahasa yang kita gunakan untuk shalat adalah bahasa yang memang relevan terhadap seluruh bangsa manusia. Misalnya, karena memang bahasa Al-Qur’anlah yang merupakan akar, sekaligus puncak dari semua bahasa yang ada di muka bumi.”

**”Temanmu tadi mengatakan,” berkata Pak Kiai selanjutnya kepada santri keempat, “bahwa Allah hanya menurunkan satu agama. Bagaimana engkau menjelaskan hal itu?”

“Agama Islam dihadirkan sebagaimana bayi dilahirkan,” jawab santri keempat, “Tidak langsung dewasa, tua atau matang, melainkan melalui tahap-tahap atau proses pertumbuhan.”

“Apa jawabmu terhadap pertanyaan tentang adanya berbagai agama selain Islam?”

“Itu anggapan kebudayaan atau anggapan politik bukan anggapan akidah.”

“Apakah itu berarti engkau tak mengakui eksistensi agama-agama lain?”

“Aku mengakui nilai-nilai yang termuat dalam yang disebut agama-agama itu –sebelum dimanipulasikan– sebab nilai-nilai itu adalah Islam jua adanya pada tahap tertentu, yakni sebelum disempurnakan oleh Allah melalui Muhammad rasul pamungkasNya. Bahwa kemudian berita-berita Islam sebelum Muhammad itu dilembagakan menjadi sesuatu yang disebut agama –dengan, ternyata, berbagai penyesuaian, penambahan atau pengurangan– sebenarnya yang terjadi adalah pengorganisasian. Itu bukan agama Allah, melainkan rekayasa manusia.”

**Pak Kiai menatapkan matanya tajam-tajam ke wajah santri kelima sambil bertanya, “Agama apakah yang dipeluk oleh orang-orang beriman sebelum Muhammad?”

“Islam, Kiai.”

“Apa agama Ibrahim?”

“Islam.”

“Apa agama Musa?”

“Islam.”

“Dan agama Isa?”

“Islam.”

“Sudah bernama Islamkah ketika itu?”

“Tidak mungkin, demikian kemauan Allah, ada nama atau kata selain Islam yang sanggup mewakili kandungan-kandungan nilai petunjuk Allah. Islam dan kandungannya tak bisa dipisahkan, sebagaimana api dengan panas atau es dengan dingin. Karena ia Islam, maka demikianlah kandungan nilainya. Karena demikian kandungan nilainya, maka Islamlah namanya. Itu berlaku baik tatkala pengetahuan manusia telah mengenal Islam atau belum.”

**”Maka apakah gerangan arti yang paling inti dari Islam?” Pak Kiai langsung menggeser pertanyaan kepada santri keenam.

“Membebaskan,” jawab santri itu.

“Pakailah kata yang lebih memuat kelembutan!”

“Menyelematkan, Kiai.”

“Siapa yang menyelamatkan, siapa yang diselamatkan, serta dari apa dan menuju apa proses penyelamatan atau pembebasan itu dilakukan?”

“Allah menyelamatkan manusia, diaparati oleh para khulafa’ atas bimbingan para awliya dan anbiya. Adapun sumber dan tujuannya ialah membebaskan manusia dari kemungkinan tak selamat kembali ke Allah. Manusia berasal dari Allah dan sepenuhnya milik Allah, sehingga Islam –sistem nilai hasil karya Allah yang dahsyat itu– dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari cengkeraman sesuatu yang bukan Allah.”

“Apa sebab agama anugerah Allah itu tak bernama Salam, misalnya?”

“Salam ialah keselamatan atau kebebasan. Itu kata benda. Sesuatu yang sudah jadi dan tertentu. Sedangkan Islam itu kata kerja. Berislam ialah beramal, berupaya, merekayasa segala sesuatu dalam kehidupan ini agar membawa manusia kepada keselamatan di sisi Allah.”

**Pak Kiai menuding santri ketujuh, “Tidakkah Islam bermakna kepasrahan?”

“Benar, Kiai,” jawabnya, “Islam ialah memasrahkan diri kepada kehendak Allah. Arti memasrahkan diri kepada kehendak Allah ialah memerangi segala kehendak yang bertentangan dengan kehendak Allah.”

“Bagaimana manusia mengerti ini kehendak Allah atau bukan?”

“Dengan memedomani ayat-ayatNya, baik yang berupa kalimat-kalimat suci maupun yang terdapat dalam diri manusia, di alam semesta, maupun di setiap gejala kehidupan dan sejarah. Oleh karena itu Islam adalah tawaran pencarian yang tak ada hentinya.”

“Kenapa sangat banyak orang yang salah mengartikan makna pasrah?”

“Karena manusia cenderung malas mengembangkan pengetahuan tentang kehendak Allah. Bahkan manusia makin tidak peka terhadap tanda-tanda kehadiran Allah di dalam kehidupan mereka. Bahkan tak sedikit di antara orang-orang yang rajin bersembahyang, sebenarnya tidak makin tinggi pengenalan mereka terhadap kehendak Allah. Mereka makin terasing dari situasi karib dengan kemesraan Allah. Hasilnya adalah keterasingan dari diri mereka sendiri. Tetapi alhamdulillah, situasi terasing dan buntu yang terjadi pada peradaban mutakhir manusia, justru merupakan awal dari proses masuknya umat manusia perlahan-lahan ke dalam cahaya Islam. Sebab di dalam kegelapanlah manusia menjadi mengerti makna cahaya.”

**”Cahaya Islam. Apa itu gerangan?”

Santri ke delapan menjawab, “Pertama-tama ialah ilmu pengeahuan. Adam diajari nama benda-benda. Itulah awal mula pendidikan kecendekiaan, yang kelak direkonstruksi oleh wahyu pertama Allah kepada Muhammad, yakni iqra’. Itulah cahaya Islam, sebab agama itu dianugerahkan kepada makhluk tertinggi yang berpikiran dan berakal budi yang bernama manusia.”

“Pemikiranmu lumayan,” sahut Pak Kiai, “Cahaya Islam tentunya tak dapat dihitung jumlahnya serta tak dapat diukur keluasan dan ketinggiannya: kita memerlukan tinta yang ditimba dari tujuh lautan lebih untuk itu. Bersediakah engkau kutanyai barang satu dua di antara kilatan-kilatan cahaya mahacahaya itu?”

“Ya, Kiai.”

“Sesudah engkau sebut Adam, apa yang kau peroleh dari Idris?”

“Dinihari rekayasa teknologi.”

“Dari Nuh?”

“Keingkaran terhadap ilmu dan kewenangan Allah.”

“Hud?”

“Kebangunan kembali menuju salah satu puncak peradaban dan teknologi canggih.”

“Baik. Tak akan kubawa kau berhenti di setiap terminal. Tetapi jawablah: pada Ibrahim, terminal Islam apakah yang engkau temui?”

“Rekonstruksi tauhid, melalui metode penelitian yang lebih memeras pikiran dan pengalaman secara lebih detil.”

“Pada Ismail?”

“Pengurbanan dan keikhlasan.”

“Ayyub?”

“Ketahanan dan kesabaran.”

“Dawud?”

“Tangis, perjuangan dan keberanian.”

“Sulaiman?”

“Ke-waskita-an, kemenangan terhadap kemegahan benda, kesetiaan ekologis dan keadilan.”

“Sekarang sebutkan yang engkau peroleh dari Musa!”

“Keteguhan, ketegasan haq, ilmu perjuangan politik, tapi juga kedunguan dalam kepandaian.”

“Dari Zakaria?”

“Dzikir.”

“Isa?”

“Kelembutan cinta kasih, alam getaran hub.”

“Adapun dari Muhammad, anakku?”

“Kematangan, kesempurnaan, ilmu manajemen dari semua unsur cahaya yang dibawa oleh para perutusan Allah sebelumnya.”

**Akhirnya tiba kepada santri kesembilan. “Di tahap cahaya Islam yang manakah kehidupan dewasa ini?”

“Tak menentu, Kiai,” jawab sanri terakhir itu, “Terkadang, atau bahkan amat sering, kami adalah Adam yang sembrono dan nekad makan buah khuldi. Di saat lain kami adalah Ayyub –tetapi– yang kalah oleh sakit berkepanjangan dan putus asa oleh perolehan yang amat sedikit. Sebagian kami memperoleh jabatan seperti Yusuf tapi tak kami sertakan keadilan dan kebijakannya; sebagian lain malah menjadi Yusuf yang dicampakkan ke dalam sumur tanpa ada yang mengambilnya. Ada juga golongan dari kami yang telah dengan gagahnya membawa kapak bagai Ibrahim, tapi sebelum tiba di gudang berhala, malah berbelok mengerjakan sawah-sawah Fir’aun atau membelah kayu-kayu untuk pembangunan istana diktator itu.”

Pak Kiai tersenyum, dan santri itu meneruskan, “Mungkin itu yang menyebabkan seringkali kami tersembelih bagai Ismail, tapi tak ada kambing yang menggantikan ketersembelihan kami.”

“Maka sebagian dari kami lari bagai Yunus: seekor ikan paus raksasa menelan kami, dan sampai hari ini kami masih belum selesai mendiskusikan dan menseminarkan bagaimana cara keluar dari perut ikan.”

Pak Kiai tertawa terkekeh-kekeh.

“Kami belajar pidato seperti Harun, sebab dewasa ini berlangsung apa yang disebut abad informasi. Tetapi isi pidato kami seharusnya diucapkan 15 abad yang lalu, padahal Musa-Musa kami hari ini tidaklah sanggup membelah samudera.”

“Anakku,” Pak Kiai menyela, “pernyataan-pernyataanmu penuh rasa sedih dan juga semacam rasa putus asa.”

“Insyaallah tidak, Kiai,” jawab sang santri, “Cara yang terbaik untuk menjadi kuat ialah menyadari kelemahan. Cara yang terbaik untuk bisa maju ialah memahami kemunduran. Sebodoh-bodoh kami, sebenarnya telah pula berupaya membuat tali berpeluru Dawud untuk menyiapkan diri melawan Jalut. Tongkat Musa kami pun telah perlahan-lahan kami rekayasa, agar kelak memiliki kemampuan untuk kami lemparkan ke halaman istana Fir’aun dan menelan semua ular-ular sihir yang melata-lata. Kami juga mulai berguru kepada Sulaiman si raja agung pemelihara ekosistem. Seperti Musa kami juga belajar berendah hati kepada ufuk ilmu Khidhir. Dan berzikir. Bagai Zakaria, kami memperpeka kehidupan kami agar memperoleh kelembutan yang karib dengan ilmu dan kekuatan Allah. Terkadang kami khilaf mengambil hanya salah satu watak Isa, yakni yang tampak sebagai kelembekan. Tetapi kami telah makin mengerti bagaimana berguru kepada keutuhan Muhammad, mengelola perimbangan unsur-unsur, terutama antara cinta dengan kebenaran. Sebab tanpa cinta, kebenaran menjadi kaku dan otoriter. Sedangkan tanpa kebenaran, cinta menjadi hanya kelemahan, keterseretan, terjebak dalam kekufuran yang samar, hanyut dan tidak berjuang.”

**Betapa tak terbatas apabila perbincangan itu diteruskan jika tujuannya adalah hendak menguak rahasia cahaya Islam.

“Sampai tahap ini,” kata Pak Kiai, “cukuplah itu bagi kalian, sesudah dua pertanyaan berikut ini kalian jawab.”

“Kami berusaha, Kiai,” jawab mereka.

“Bagaimana kalian menghubungkan keyakinan kalian itu dengan keadaan masyarakat dan negeri di mana kalian bertempat tinggal?”

“Kebenaran berlaku hanya apabila diletakkan pada maqam yang juga benar. Juga setiap kata dan gerak perjuangan,” berkata salah seorang.

“Sebaik-baik urusan ialah di tengah-tengahnya, kata Rasul Agung. Harus pas. Tak lebih tak kurang,” sambung lainnya.

“Muhammad juga mengajarkan kapan masuk Gua Hira, kapan terjun ke tengah masyarakat,” sambung yang lain lagi.

“Mencari titik koordinat yang paling tepat pada persilangan ruang dan waktu, atau pada lalu lintas situasi dan peta sejarah.”

“Ada dakwah rahasia, ada dakwah terang-terangan.”

“Hikmah, maw’idhah hasanah, jadilhum billati hiya ahsan.”

“Makan hanya ketika lapar, berhenti makan sebelum kenyang. Itulah irama. Itulah sesehat-sehat kesehatan, yang berlaku bagi tubuh maupun proses sejarah.”

“Perjuangan ialah mengetahui kapan berhijrah ke Madinah dan kapan kembali ke Makkah untuk kemenangan.”

“Dan di atas semua itu, Rasulullah Muhammad bersedia tidur beralaskan daun kurma atau bahkan di atas lantai tanah.”

Pak Kiai tersenyum, “Apa titik tengah di antara kutub kaku dan kutub lembek, anak-anakku?”

“Lentur, Kiai!” kesembilan santri itu menjawab serentak, karena kalimat itulah memang yang hampir setiap hari mereka dengarkan dari mulut Pak Kiai sejak hari pertama mereka datang ke pesantren itu.

“Fal-yatalaththaf!” ucap Pak Kiai akhirnya sambil berdiri dan menyalami santri-santrinya satu per satu, “titik pusat Al-Qur’an!”

By Emha Ainun Nadjib

Klik disini untuk melanjutkan »»

Setiap Insan Adalah Spesial

.
0 komentar

Alkisah, disebuah kelas sekolah dasar, bu guru memulai pelajaran dengan topik bahasan, "Setiap insan adalah spesial". Kehadiran manusia di dunia ini begitu berarti dan penting. "Anak-anakku, kalian, setiap anak adalah penting dan spesial bagi ibu. Semua guru menyayangi dan mengajar kalian karena kalian adalah pribadi yang penting dan spesial. Hari ini ibu khusus membawa stiker bertuliskan warna merah "Aku adalah spesial". Kalian maju satu persatu, ibu akan menempelkan stiker ini di dada sebelah kiri kalian". Dengan tertib anak-anak maju satu persatu untuk menerima stiker dan sebuah kecupan sayang dari bu guru mereka. Setelah selesai, bu guru melanjutkan "Ibu beri kalian masing-masing tambahan 4 stiker. Beri dan tempelkan 1 kepada orang yang kalian anggap spesial, sebagai ungkapan rasa hormat dan terima kasih dan kemudian serahkan 3 stiker lainnya untuk diteruskan kepada orang yang dirasa spesial pula olehnya, begitu seterusnya. Mengerti kan.......".

Sepulang sekolah, seorang murid pria mendatangi sebuah kantor, diapun memberikan stikernya kepada seorang manajer di sana. "Pak, bapak adalah orang yang spesial buat saya. Karena nasehat-nasehatpak berikan, sekarang saya telah menjadi pelajar yang lebih baik dan bertanggung jawab. Ini ada 3 stiker yang sama, bapak bisa melakukan hal yang sama, memberikannya kepada siapapun yang menurut bapak pantas menerimanya".

Lewat beberapa hari, manajer tersebut menemui pimpinan perusahaannya yang emosional dan sulit untuk didekati. Tetapi mempunyai pengetahuan yang luas dan telah memberi banyak pelajaran hingga dia bisa menjadi seperti hari ini. Awalnya sang pemimpin terkesima, namun setelah mengetahui alasan pemberian stiker itu, dia pun menerimanya dengan haru. Sambil mengangsurkan si manajer berkata,"Ini ada 1 stiker yang tersisa. Bapak bisa melakukan yang sama kepada siapapun yang pantas menerima rasa sayang dari bapak". Sesampai di rumah, bergegas ditemui putra tunggalnya. "Anakku, selama ini ayah tidak banyak memberi perhatian kepadamu, meluangkan waktu untuk menemanimu. Maafkan ayahmu yang sering kali marah-marah karena hal-hal sepele yang telah kamu lakukan dan ayah anggap salah. Malam ini, ayah ingin memberi stiker ini dan memberitahu kepadamu bahwa bagi ayah, selain ibumu, kamu adalah yang terpenting dalam hidup ayah. Ayah sayang kepadamu". Setelah kaget sesaat, si anak balas memeluk ayahnya sambil menangis sesenggukan. "Ayah, sebenarnya aku telah berencana telah bunuh diri. Aku merasa hidupku tidak berarti bagi siapapun dan ayah tidak pernah menyayangiku. Terima kasih ayah". Mereka pun berpelukan dalam syukur dan haru serta berjanji untuk saling memperbaiki diri.

Pembaca yang luar biasa,
Kehidupan layaknya seperti pantulan sebuah cermin. Dia akan bereaksi yang sama seperti yang kita lakukan. Begitu pentingnya bisa menghargai dan menempatkan orang lain di tempat yang semestinya. memuji orang lain dengan tulus juga merupakan ilmu hidup yang sehat, bahkan sering kali pujian yang diberikan disaat yang tepat akan memotivasi orang yang dipuji, membuat mereka bertambah maju dan berkembang, dan hubungan diantara kitapun akan semakin harmonis, mari kita mulai dari diri kita sendiri, belajar memberi pujian, menghormati dan memperhatikan orang lain dengan tulus dengan demikian kehidupan kita pasti penuh gairah, damai dan mengembirakan.


Salam sukses luar biasa!

Andrie Wongso

Klik disini untuk melanjutkan »»

Kepemimpinan Yang Efektif

.
0 komentar

Beberapa waktu belakangan ini, perhatian saya terbagi dengan peran-peran kepemimpinan di negara tercinta ini. Isu ini sangat menarik untuk diikuti dan ditelaah karena melibatkan banyak orang dan biaya didalamnya.

Dari apa yang telah saya pelajari, paling tidak ada dua hal yang mendorong kepemimpinan seseorang berjalan dengan efektif, yang pertama adalah memastikan orang untuk bertanggung jawab terhadap hidupnya, dan yang kedua menciptakan visi dan/atau program-program yang orang mau mencapai bersama dengannya.

Untuk itu, ijinkan saya dibawah ini menuliskan kembali nasihat-nasihat dari Pak Mario mengenai kepemimpinan dalam hidup ini.

Kepemimpinan adalah sebuah proses mempengaruhi individu atau organisasi untuk mencapai urutan hasil dalam urutan tindakan yang setia pada sebuah misi.

Seorang pemimpin adalah seorang penjual harapan, melalui kejelasan visi dan kekuatan misi.

Maka pastikanlah bahwa tindakan kita tidak berorientasi kepada kepentingan yang bukan bagi kebaikan yang kita pimpin.

Mohon Anda sadari bahwa, bagi seorang pemimpin – menjadi yang dipercaya adalah hadiah yang lebih baik dari apapun. Kepercayaan yang diberikan oleh anggota organisasi kepada seorang pemimpin datang dari perasaan terpastikan dalam mempercayakan proses memimpin pencapaian tujuan bersama kepadanya.

Untuk itu, siapapun akan mencapai kepantasan sebagai seorang pemimpin, bila ia membiasakan dirinya untuk meninggikan orang lain, tanpa merendahkan dirinya sendiri.

Dengannya, bila Anda berada dalam kendali yang baik, maka mereka akan merasa tenang dalam kepemimpinan Anda, lalu kemudian bila mereka merasa lebih percaya diri dalam kepemimpinan Anda, maka Anda adalah seorang pemimpin yang berwibawa.

Mohon Anda perhatikan bahwa, kewibawaan kepemimpinan seseorang dapat didefinisikan sebagai pesona pribadi yang memenangkan persetujuan orang lain, untuk bersikap dan berlaku sebagaimana yang dipimpinnya.

Dengannya, semua pemimpin yang berhasil membangun kebesaran organisasinya, selalu adalah pemimpin yang dekat dengan mereka yang dipimpinnya.

Sadarilah bahwa dia yang tidak melakukan hal-hal yang mendatangkan kebaikan bagi mereka yang dipimpinnya, telah menunda tercapainya kebaikan yang menjadikan hak mereka.

Maka kembangkanlah praktik-praktik kepemimpinan dan proses operasi yang membangun keceriaan dan keleluasaan untuk mencapai hasil lebih.

Marilah kita menjadi pribadi-pribadi yang perbedaannya adalah kemampuan untuk mengubah yang biasa, menjadi luar biasa.

Perhatikanlah, sebuah organisasi tidak mungkin bisa bergerak mendekati bentuk kreatifitas apapun, bila sang pemimpin menjadikan dirinya sendiri sebagai contoh utama dalam penolakan cara-cara yang lebih baik.

Dari mana memulainya?

Seperti dalam hal apapun,

mulailah dari diri Anda sendiri.

Anda adalah seorang khalifah.


Super member terkasih, demikian beberapa nasihat yang pernah Pak Mario sampaikan, saya mengajak Anda untuk berbagi disini mengenai kepemimpinan yang anda amati dilingkungan anda, mudah-mudahan dengannya kebaikan yang kita sampaikan lebih menyentuh lebih banyak orang.

Terimakasih dan Salam Super,

Hery Suherman

Klik disini untuk melanjutkan »»

Kesempatan

.
0 komentar

Setiap hari yang Anda dan saya jalani adalah hadiah yang sangat indah dari Yang Maha Memiliki yang menjadikan keseluruhan kehidupan kita penuh dengan makna dan warna-warni kebahagiaan.

Untuk merasa bahagia, bingung, kecewa, sedih, atau marah adalah masalah keputusan. Bila Anda memutuskan untuk merasa berbahagia maka bahagialah Anda. Dengannya, kebahagiaan Anda adalah sebetulnya hasil dari ketepatan keputusan-keputusan Anda (MTST – Deciding To Be Happy).

Mohon Anda sadari bahwa perasaan-perasaan itu ada, dan kita sendiri yang dapat mencegah pikiran dan tindakan kita dari melakukan yang baik, tetapi kita juga dapat mendorong diri untuk lebih banyak melakukan kebaikan.

Itu sebabnya, jangan pernah menelantarkan perasaan Anda ke dalam sebuah perasaan yang sulit dimengerti oleh diri Anda sendiri dan orang lain.

Sadarilah bahwa ada sebuah mekanisme yang sedang mengamati sikap dan perilaku kita, Anda dan saya; yang setia melakukan penilaian, dan yang dengan tegas mendekatkan atau menjauhkan kita dari kualitas hidup yang kita impikan. (MTST – Fate).

Sehingga, ketika kita terjebak pada hari yang sama sekali tidak menyenangkan, mengerikan, tidak ada yang baik, dan sangat buruk, ... berilah hari itu kesempatan.

Karena kita tidak bisa lagi memiliki hari kemarin.

Anda dan saya pernah memiliki kenangan-kenangan di masa lalu. Ada di antara kita yang terjebak pada kenangan masa lalu yang menahan langkahnya dari meraih kesempatan-kesempatan yang paling memungkinkan bagi tercapainya kecemerlangan hidup, tetapi ada pula yang tetap melangkah dengan gagah dalam kepingan-kepingan bara semangat.

Anda harus menjadikan diri Anda sebagai pribadi yang sepenuhnya bertanggungjawab atas kualitas kehidupan Anda. Jangan mengeluhkan kehidupan yang sepertinya berlaku tidak cantik bagi kehidupan Anda.

Mohon Anda sadari bahwa mungkin ada orang lain yang memiliki perasaan yang sama bahkan lebih buruk dari yang Anda terima, tetapi lebih memperhatikan cara-cara yang mendamaikan kehidupannya.


Itu sebabnya, tanggungjawab kita adalah menjadikan hari ini lebih baik dengan pelajaran yang kita unduh dari kesalahan-kesalahan kita di masa lalu, dan menjadikan hari esok lebih menjanjikan karena kelebihan-kelebihan yang kita capai hari ini.

Karena kualitas motivasi kita adalah sebuah target bergerak, dan karena dalam dua hari – hari ini akan menjadi kemarin; maka tetaplah setia kepada cara-cara yang baik untuk berdamai dengan masa lalu Anda.

Sadarilah bahwa masa lalu Anda dibangun oleh urutan teratur dari berubahnya hari ini – menjadi kemarin, dan yang terjadi setiap hari; dan bahwa masa depan Anda datang mendekat dalam berubahnya hari esok – menjadi hari ini.

Maka bangunlah dan peliharalah semangat Anda, karena tidak ada apa pun di dunia ini yang berubah bentuk dan kekuatan – secepat perubahan perasaan kita. (MTMN – keberhasilan demikian dekat di lidah; tetapi bisa demikian jauh dari jangkauan)


Kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok, tetapi kita memiliki pengalaman di masa lalu yang dapat menjadikan kita lebih baik di hari ini. Itu sebabnya, segera putuskan untuk hidup di hari ini dengan sepenuhnya, karena hari ini adalah hari yang terbaik untuk kita melangkah dalam pencapaian masa depan. Kita belum memiliki hari esok. Kita tidak bisa menjalani hari esok. Kita hanya memiliki hari ini.

Bekerja keraslah hari ini, dan ubahlah perasaan Anda dari yang perasaan-perasaan yang tidak menentu menjadi sebuah perasaan yang kegembiraannya dapat menyemangati Anda melangkah lebih damai menuju keberhasilan masa depan.

Orang-orang yang bekerja keras hari ini
dan memastikan bahwa yang dilakukannya hari ini pantas mendapat
penghargaan di masa depan,
akan bisa lebih senang nanti menyambut masa depan yang datang
dengan kualitas yang lebih baik.
( MT Star Point )


Apabila tahun 2008 adalah sebuah perjalanan, perjalanan kita akan mencapai bagian akhir.

Anda dan saya masih memiliki kesempatan yang akan kita pergunakan untuk melangkah maju di tahun depan.

Sejenak, kita melakukan evaluasi dan introspeksi diri : "Apakah kita masih dan akan terus berusaha untuk berjalan di jalur yang benar ?"

Belum terlambat bagi kita untuk memperbaiki hal-hal yang keliru ketika kita mulai sadar bahwa kita telah jauh berbelok dari tujuan kita.

Awal dari kehidupan kita – bukanlah rencana kita,
dan saat berakhirnya pun – bukan keputusan kita;
tetapi telah semakin jelas bagi kita bahwa tugas kita
adalah menjadikan waktu antara yang awal dan akhir itu,
sebagai sebuah perjalanan yang ter-indah
yang bisa kita capai dengan upaya kita,
dan dengan bantuan penuh kasih
dari Tangan Yang Tidak Terlihat itu.
( MT – Becoming is more important than Having )


Sahabat sekalian, Selamat Tahun Baru 2009

Liana Mariyanti
MTPE

Klik disini untuk melanjutkan »»

Mendengarkan Bambu Bicara

.
0 komentar

Terus terang, lama saya memendam keingintahuan, kenapa banyak lukisan-lukisan yang datang dari Cina dan Jepang berlatar belakang pohon bambu ? Sampai-sampai sempat bertanya ke sana ke mari. Dan rasa ingin tahu ini sedikit terobati ketika bertemu buku dengan judul The Bamboo Oracle karangan Chao-Hsiu Chen. Karya jernih ini bertutur banyak tentang kebijakan-kebijakan Confusius melalui simbul-simbul bambu. Rupanya, pohon yang menarik perhatian saya ini, menyimpan banyak sekali simbul dari sifat-sifat mulia.

Sebutlah sifat bambu yang tidak memiliki bunga dan buah. Tidak sama dengan pohon lainnya yang senantiasa sombong dengan bunga dan buahnya, bambu tetap berdiri tegak tanpa sumber kesombongan terakhir. Semua ini seperti sedang mengingatkan kita manusia, hasil dalam kehidupan, kalau dibiarkan menjadi kekuatan pendikte kesombongan dan kecongkakan, maka mudah sekali membuat orang ‘berakar ke luar’.

Berbeda dengan bambu yang berakar kuat ke dalam, orang-orang yang didikte kesombongan dan kecongkakan, amat dan sangat tergantung pada komentar, pendapat, pujian dan makian orang lain. Dan sebagaimana semua kita tahu, di kaki langit manapun, dengan sikap dan prestasi setinggi apapun, pujian dan makian orang akan senantiasa datang mengikuti. Sehingga kalau pujian dan makian orang yang digunakan sebagai barometer keberhasilan, maka siklus naik dan turun akan senantiasa ikut bersama kita. Ketika dipuji naik siklusnya, tatkala dimaki turun mood-nya.

Kalau boleh jujur, tidak sedikit manusia yang hidupnya dibuat lelah karena senantiasa mendaki dan menuruni siklus pujian dan makian. Dibandingkan lelah naik turun, orang-orang seperti Kabir (salah seorang seniman besar India), memilih untuk berakar ke dalam persis seperti bambu. Dalam kehidupan yang berakar ke dalam, energi utama yang mendorong perubahan dan kehidupan bukan lagi pujian dan makian orang lain, namun kenikmatan untuk senantiasa bersyukur dalam melakukan perjalanan.

Mirip dengan anak-anak sekolah yang pergi tamasya dan di dalam perjalanan selalu bernyanyi ‘di sini senang, di sana senang’, demikianlah kira-kira kehidupan orang-orang yang berakar ke dalam. Kabir bahkan pernah menyarankan untuk tidak perlu pergi ke taman, gunung, pantai dan tempat rekreasi lainnya. Sebab, di dalam sini sudah tersedia keindahan dan kenikmatan yang tidak terbatas jumlahnya. Dan kalau rekreasi ke luar kita membayar mahal, rekreasi ke dalam biayanya amatlah murah secara materi. Hanya diperlukan duduk, hening, syukur dan tersenyum.

Mirip dengan bambu yang kuat dan kokoh karena berakar ke dalam, demikian juga kehidupan banyak orang yang berakar ke dalam. Tidak ada satupun kekuatan pendikte dari luar yang bisa merobohkannya. Sayang sekali, kehidupan manusia modern tidak mau mendengarkan bambu, untuk kemudian berakar ke luar. Sebagai hasilnya, kebencian, peperangan, penderitaan dan sejenisnya, datang tanpa mengenal rasa lelah.

Sebutlah tragedi meledaknya World Trade Centers New York yang dibumi hanguskan oleh teroris 11 September 2001 lalu, yang belakangan membuka pintu kebencian yang amat mencekam, apa lagi penyebab utamanya kalau bukan kehidupan yang berakar ke luar. Dengan judul-judul seperti memberi pelajaran pada adi kuasa, menegakkan martabat bangsa, ada orang yang bahkan rela mati dan menghancurkan surga di dalam diri, hanya untuk mengundang decak kagum orang lain.

Disamping berakar kuat ke dalam, bambu juga senantiasa hidup dalam keheningan dan kerendahhatian. Lihatlah ketika angin bertiup, ia hanya bergesek-gesek kecil dengan sahabatnya, dan kemudian menimbulkan suara desis yang hening. Dan hening terakhir adalah sejenis kualitas yang sudah lama hilang dari dunia manusia, untuk kemudian diganti dengan kekisruhan, dendam dan sejenisnya. Berbeda dengan dendam dan kekisruhan lain yang mengenal kotak dan pagar-pagar pemisah, keheningan ala bambu sudah lama membuang kotak dan pagar-pagar terakhir. Ketika angin lembut datang, ia berdesis hening, ketika angin ribut datang ia juga berdesis hening.

Seolah-olah sedang mengingatkan, hanya dengan keheninganlah kejernihan pandangan bisa dipertahankan. Ketika peledakan gedung WTC New York baru terjadi, sebagai pribadi hati sayapun menangis, sambil berharap inilah saatnya bagi Amerika untuk menunjukkan kedigdayaannya yang sebenarnya. Ketika itu, lewat dalam bayangan saya sebagai manusia, George W. Bush berpidato penuh senyum : ‘Kita amat terpukul dan berduka dengan kejadian ini. Namun, karena kita bangsa besar, inilah saatnya untuk menunjukkan pada dunia kebesaran kita. Di mana dalam kebesaran dan kedigdayaan, kebencian tidaklah sepantasnya dilawan dengan kebencian, kedengkian tidaklah selayaknya direspons dengan kekisruhan pikiran’. Setidak-tidaknya itulah prediksi saya tentang pidato Bush di hari berikutnya.

Sayang sekali, prediksi saya tentang pidato Bush salah besar. Kedigdayaan Amerika yang dibangun dalam kurun waktu lama bahkan dijatuhkan oleh serangkaian kebencian dan kekisruhan. Ketika tulisan ini dibuat, wajah dunia memang terbelah. Sebagaimana cerita kehidupan yang berakar ke luar, ada yang memuji Amerika, ada juga yang mencaci Amerika. Dan memang demikianlah hakekat kehidupan.

Anda bebas memilih sikap dalam hal ini, dan saya memilih untuk duduk hening mendengarkan suara-suara bambu. Dan sebagaimana disarikan secara ringkas oleh Chao-Hsiu Chen, bambu senantiasa silent, modest, deeply rooted. Hening, sopan dan berakar ke dalam. Setidak-tidaknya demikianlah cita-cita saya dalam perjalanan panjang yang bernama kehidupan.

By Gede Prama

Klik disini untuk melanjutkan »»

Selasa, 03 Maret 2009

Bicara Baik atau Diam

. Selasa, 03 Maret 2009
0 komentar

Ada sejenis kecemburuan tersendiri kalau saya melihat seorang pelukis sedang melukis. Melalui kegiatan bercakap-cakap dengan diri sendiri, seorang pelukis kemudian mengungkapkan hasil percakapan tadi ke dalam sebuah lukisan. Sehingga bagi siapa saja yang cukup peka untuk memaknai karya seni, ia bisa menerka percakapan apa yang terjadi di balik banyak lukisan.

Agak berbeda dengan pelukis di mana lukisanlah salah satu hasil percakapannya dengan diri sendiri, kita manusia biasa memiliki juga hasil dari percakapan panjang kita bersama diri sendiri. Dan hasil yang paling representatif adalah badan yang kita bawa kemana-mana selama hidup. Atau kalau mau lebih dalam, jiwa adalah salah satu hasil lain dari percakapan jenis terakhir ini.

Dilihat dalam bingkai berpikir seperti ini, hidup ini isinya serupa dengan kegiatan melukis. Bedanya dengan pelukis, kita sedang melukis diri kita sendiri. Mirip dengan pelukis, ada aspek yang disengaja ada juga aspek yang tidak disengaja. Dan percakapan adalah kuas, kertas, warna yang menjadi bahan-bahan kita dalam melukis. Dalam tingkat penyederhanaan tertentu, apapun yang kita percakapkan dengan diri sendiri akan memberikan warna terhadap lukisan (baca : wajah) kita sendiri.

Coba Anda perhatikan orang-orang yang suka sekali bicara negatif. Dari ngerumpi kejelekan orang lain, iri, dengki, menempatkan orang lain dalam posisi tidak pernah benar, sampai dengan suka berkelahi dengan banyak orang. Perhatikan badan dan sinar mukanya, bukankah berbeda sekali dengan orang lain yang percapakannya lebih banyak berisi hal-hal yang positif ?

Lebih dari sekadar memiliki wajah berbeda, orang yang isi percakapannya hanya dan hanya negatif, juga berhobi memproduksi penyakit yang akan dihadiahkan pada tubuhnya sendiri. Berbagai jenis penyakit siap menawarkan diri secara amat suka rela kepada orang-orang jenis ini. Dari penyakit fisik sampai dengan penyakit psikis. Di luar kesengajaan mereka, atau bersembunyi di balik ‘kesenangan’ sesaat, orang-orang seperti ini sedang memukul, menusuk dan bahkan menghancurkan badan dan jiwanya. Kalau kemudian lukisan kehidupannya berwajah hancur lebur, tentu bukan karena sengaja dihancurkan orang lain.

Dalam bingkai renungan seperti ini, layak dicermati kembali bagaimana persisnya kita bercakap-cakap dengan diri sendiri setiap harinya. Entah ketika di depan cermin, entah tatkala berhadapan dengan banyak perkara, entah di manapun kita selalu bercakap-cakap dengan diri sendiri. Tidak hanya sejak bangun pagi sampai tidur malam kita melakukan percakapan, bahkan ketika tidurpun kita bercakap-cakap dengan diri sendiri.

Kalau semuanya bisa digerakkan dari tataran kesadaran semata, semua orang hanya mau bercakap-cakap yang positif saja. Sayangnya, kekuatan di balik percakapan tidak saja berada di wilayah kesadaran. Ia juga berakar dalam pada wilayah-wilayah di luar kesadaran. Di sinilah letak tantangannya. Orang-orang yang terlalu lama memformat lukisannya dengan percakapan-percakapan negatif, tentu dihadang tantangan yang lebih besar. Demikian juga sebaliknya.

Akan tetapi, seberapa besarpun tantangannya, pilihan diserahkan ke kita, akankah kita membuat lukisan diri sendiri yang berwajah indah, atau bopeng mengerikan di sana-sini. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, percakapan memang kendaraan yang amat menentukan dalam hal ini.

Seorang sahabat jernih pernah memberikan pedoman amat sederhana dalam hal ini : speak good, or be silent. Bicaralah hal-hal yang baik saja, kalau tidak bisa diamlah. Tampaknya terlalu sederhana, tetapi menangkap esensi yang paling esensi. Sekaligus memberikan kompas, ke arah mana perjalanan percakapan sebaiknya dilakukan.

Tertawa tentu saja boleh dan bahkan sehat. Namun tertawa dengan cara mentertawakan kekurang fisik orang lain tentu saja layak untuk dikurangi. Waspada dan hati-hati juga tidak salah, namun curiga apa lagi menuduh orang lain tanpa bukti mungkin perlu rem yang menentukan dalam hal ini. Demikian juga ketika melihat kekurangan orang lain, atau juga kekurangan diri sendiri. Serakah misalnya, kenapa tidak dibelokkan menjadi serakah belajar dan berusaha. Kebiasaan mumpung sebagai contoh lain, mumpung berkuasa kenapa tidak segera menjadi contoh dari hidup yang lurus dan bersih. Iri hati juga serupa, bisa saja energi-energi iri hati digunakan sebagai mesin pendorong kemajuan yang amat menentukan. Bentuk tubuh yang tidak menarik sebagai contoh lain, kenapa tidak digunakan sebagai cambuk untuk mengembangkan kecantikan dari dalam diri.

Dari serangkaian contoh ini, yang diperlukan sebenarnya kesediaan untuk senantiasa berdisiplin di dalam diri. Terutama disiplin untuk mendidik mulut dan pikiran, serta membelokkan setiap energi negatif ke tempat-tempat yang lebih produktif. Kalau ada yang menyebutnya susah, tentu saja tidak salah. Karena mirip dengan lukisan indah yang senantiasa dihasilkan pelukis dengan penuh perjuangan, demikian juga dengan lukisan kehidupan. Kita hanya perlu mengingat sebuah kalimat sederhana : bicaralah yang baik, atau diam sekalian. Dan atas rahmat Tuhan lukisan kehidupanpun mungkin berwajah lebih menarik. Setidaknya, itulah yang sedang saya percakapkan dengan sang diri ketika tulisan ini dibuat.

By Gede Prama

Klik disini untuk melanjutkan »»
 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com